“Karina Adhisti Inka” Ucapnya kembali, dan dia benar-benar yakin. Bahwa ia tidak lagi, salah dengar. Lelaki itu mempercepat jalannya, sementara Karina, yang sudah mematung di tempat.
“Arya?”
---
“Disini juga?” Ucap Karina
Arya menatapnya. “Kita, kan biasa kesini”
“Mmm, maksud gua, lu masih aja gitu beli
buku disini, di tempat kayak gini” Karina menghela napas panjang, sambil melihat
sekitar.
“Abis gimana Rin, gua keingetnya kesini, gak
tau karena inget momennya atau inget sama orangnya” Jawab Arya percaya diri.
Hening. Tidak ada jawaban. Karina lagi sibuk mencari buku, entah sibuk atau
sedang menyibukkan.
“Pulang sama siapa?” Tanyanya lagi,
“Sendiri” Jawabnya, sambil memegang-megang
buku itu
“Sama gua aja”
“Gausah, gua pulang naik kereta, biasa
ambil gerbong perempuan juga”
“Iya gapapa, gua di gerbong setelahnya, biar
mobil gua di parkirin disini. Gak akan ganggu kok, janji”
“Mau ngapain?” Karina terdiam sejenak, lalu
melanjuti “Pikirin tuh mobil lu, masa mau diparkir disini, yang ada nyusuhain
pemilik tokonya”
“Oh, jangan disini yaa, dimana ya Rin, markirinnya
yang enak menurut lu?” Ucapnya sambil tersenyum melihat wanita itu.
“Di stasiun, aman gak?” Tanya Karina, menduga-duga
“Kenapa harus repot-repot sih Rin, sekalian
aja gua boncengin”
“Ngga mau" Ucapnya, lalu berjalan
menuju seoranglelaki paruh baya, yang diperkirakan usianya 55 tahun. “Eeh, si neng Karina, kesini lagi” Matanya melihat Karina, silih berganti pandangannya
kini menuju lelaki itu “Loh ini kan yang dulu yaa, mas siapa ya, bapak lupa”
“Bapak masih inget aja, Arya pak” Sahutnya
dari kejauhan
“Oh iya, mas Arya, dulu mah kesini, sambil
bawa-bawa tas ya, terus nanti makan bekel di toko depan” Unjuk Pak Bayu, pada
toko di depan yang kini sudah kosong, bahkan untuk sisi kanan dan kirinya.
“Pak, aku mau beli yang ini” Karina
memperlihatkan buku, yang kini sudah berada dalam genggamannya
“Sama ini pak” Ucap cepat Arya,
disebelahnya tidak mau tertinggal.
----
Percakapan pun berakhir begitu adanya. Diantara
buku-buku lama dan riuhnya sepi yang tersisa, 2 orang itu kini sedang berjalan,
melewati begitu saja aroma buku baru serta bangunan lama. Sementara Arya terus
memandangi wajah perempuan yang sudah lama tidak ia jumpai.
“Rin, udah jarang masak kue lagi?” Kesunyian
itu pun kini reda, pertanyaan itu menjadi kalimat pembuka.
“Masih sih, baru aja kemarin buat, tapi gagal
lagi” Karina tertawa kecil
“Kenapa?” Mereka masih berjalan, beriringan.
“Gosong, apinya kegedean deh”
“Terus.. terus..”
“Bagian dalemnya enak, tapi ya tetep aja
gak bisa dimakan”
“Bikin lagi?”
“Bikin, trus gagal lagi”
“Tapi, masih mau nyoba?”
“Masih kali ya” Ucapnya
“Ternyata dari kue gosong, gagal, trus coba
lagi, trus gagal lagi, coba lagi. Itu nganterin kita ke tujuan yang kita
pengenin ya Rin.” Mereka terdiam, menghentikan langkahnya sama-sama “Mungkin
tujuan itu, lu” Karina mengernyitkan dahi, heran.
“Eh, ini ngomongin kue atau gua?”
“Ngomongin kita” Karina terdiam kembali, badannya gemetar, tangannya dingin. “Mulai lagi, Rin. Sama-sama”
“Gagal itu kayak tempat, wadah, yang diisi dengan pembelajaraan, habis itu evaluasi, salahnya dimana, biar nantinya gak keulang lagi kan.” Karina menghela napas panjang “Jadi buat apa ngomongin kita itu, karena kalau mulai lagi, dan prosesnya juga sama, tujuannya gak keliatan juga, ya buat apa di coba lagi?”
“Kalau tujuannya, untuk mulai lagi dan
berakhir sama-sama, lu mau Rin?”
“Gak ada yang tau untuk akhirnya Arya, gua
bisa aja mulai lagi sama lu atau mungkin mulai lagi, dengan orang baru.
Tapi, buat sekarang. Gua gak mungkin ngelakuin hal yang sama secara berulang kan, gua lagi jalanin apa yang lagi gua kerjain. Cukup sampai disitu.”
“Berarti diantara keraguan lu, masih ada kesempatan, walau itu kecil kemungkinannya buat gua disana”
“Yang ragu bukan gua, Arya. Sejak awal kita mulai, gua gapernah ada diantara keraguan itu. Tapi mungkin, lu yang nempatin gua disana”
“Gua gak maksud gitu” Ia menunduk, ucapannya kini jadi lemah.
“Kalau datang trus ngilang lagi. Lebih baik, kita cukup ada di keraguan itu. Tanpa nyambungin, kurangin apalagi nambahin apapun lagi. Sampai sini, cukup Arya. Kita lanjutin hidup kita masing-masing”
“Gua masih ada disini sih Rin, kalau lu suatu saat balik badan”
“Biasanya yang ngomong gini, bakal ke pelaminan duluan” ucap Karina tiba-tiba meledek seseorang yang cukup lekat beberapa tahun yang lalu itu, di pandangannya setiap hari, sampai suatu saat, dia hilang entah kemana.
“Iya sama lu”
“Iya gak harus sama gua” Mereka melanjuti perjalanan, dengan suasana yang sudah jauh lebih nyaman, berbeda dari yang sebelumnya.
“Rin lupain orang baru atau orang lama, mendingan.. yang ada di depan mata kayak gua gini deh Rin.” Ucap lelaki itu menggodanya, ia mengantarkan Karina bahkan sampai di stasiun akhir kepulangan.
0 Komentar