Part 2



Part 2 – Perayaan

Setelah beberapa waktu, sepertinya istirahatnya sudah cukup. Malam pun menjelma, bintang di langit bertebaran dengan sempurna. Tidak lagi hujan, namun pelangi tak kunjung datang. Rasa takut selalu menghinggapinya. Tapi, pikiran positif harus selalu berada disisinya. Andai saja, rasa ketakutan tidak pernah tercipta. Pasti seluruh manusia di bumi akan merasa damai sekaligus bahagia.

“Sudah kuduga, ia pasti akan pergi,” gadis itu menatap tempat yang lelaki itu singgahi, tadi. Ia kembali melanjutkan ucapannya “Aku, hanyalah manusia yang selalu menjadikannya beban dalam setiap iringan hidupnya. Kenapa ayah pergi secepat ini, disaat aku belum mampu membahagiakannya, mengapa harus ayah? Tuhan, apakah kesedihan akan benar-benar menjadi topik yang selalu kuperbincangkan, apakah aku tidak layak merasakan kebahagiaaan, walau hanya sebentar?”

Orang-orang telah pergi, meninggalkan jejak sunyi yang terpatri. Semua keheningan rasanya cocok menjadi teman saat kondisi sendiri seperti ini.

“Kamu menangis?” Suara berat itu, Kinara mengusap air matanya dengan badan yang masih gemetar. Lelaki itu mendapati airmata yang jatuh kepermukaan, juga wajahnya yang tampak kemerahan. Seperti sedang menahan amarahnya sendiri, seperti ada kekesalan yang tersimpan namun tidak bisa ia ungkapkan. Lelaki itu pun meraih badannya dan memeluknya erat dalam dekapannya. Suara bising yang hanya terdengar di isi kepala semakin nyata keberadaanya.

“Lepaskan aku tha.” Ia berisak dan terdengar isakannya lebih keras dari ucapannya.

“Menangislah ra, jika itu membuatmu lega. Menangislah, jika memang tidak ada obatnya”

Malam itu, kedua pemeran seperti sedang menjalankan sebuah peran pertujukan. Kinara, sekeras keras sosoknya. Ia tetaplah wanita, hatinya lembut apabila sudah bicara mengenai rasa. Ia menjauhkan tubuhnya darinya. Kinara selalu bisa merasakan ketulusan sosoknya saat Artha membawanya dekap kepelukannya. Seperti sosok ayahnya, yang lembut jika sudah dengannya.

“Tha, kamu disini. Kenapa masih disini?” Tanyanya

“Aku sudah bilang, aku akan menunggumu disini, aku sudah janji dan harus kutepati. Jika dengan aku disini bisa mengobati segala bentuk kesedihanmu. Maka akan kulakukan, selagi aku masih disini”

“Berapa hari, berapa hari lagi tha? Agar kupersiapkan dari sekarang segala bentuk hal yang menyakitkan. Kamu tahu, dengan melepaskanmu di bandara nanti, itu sama saja kamu telah membunuhku tha. Membunuhku berulang kali. Lebih baik, kamu tidak usah datang hari ini atau  seterusnya. Lebih baik, kamu selesaikan kuliahmu hingga rampung tanpa harus pulang balik dan membuatku semakin tersiksa dengan ketiadaanmu.”

“Ra, aku tahu kamu lelah memerankan peran, bahkan, tak jarang membuatmu dirundung ketakutan. Tapi, percaya pertunjukan ini akan segera berakhir. Kesedihanmu tidaklah abadi. Aku tidak mau kamu sendiriaan saat ini. Aku hanya ingin berada di saat kondisi terburuk dalam hidupmu. Aku tidak akan pergi, jika mau mu begitu. Kamu ingin aku disini? Maka akan ku lakukan itu”

Artha mengusap pelan air mata yang terus menerus membasahi pipi gadis didepannya. Kinara menangkal dan menepisnya secara kasar. Lalu menggelangkan kepala dan tersenyum tipis padanya.

“Cukup tha, cukup kamu menyiksaku. Jangan terus memikirkanku. Kamu perlu mendapatkan kebahagiaan. Kamu perlu mendapatkan hal yang menyenangkan. Aku hanyalah beban dalam setiap pertunjukan hidupmu tha, 21 tahun kita bersama, mengapa sampai sekarang kamu selalu menomer duakan dirimu di atas kebahagiaanku?” Tanya Kinara

“21 tahun kita bersama, kamu tetaplah gadis kecil yang mengajarkanku banyak hal dari dulu hingga sekarang. Aku ingin sekali membahagiakanmu walau aku tidak tahu dengan cara seperti apa, aku harus melakukannya. Jadi, kumohon jangan bicara seperti itu ra. Kamu layak untuk ku istimewakan, kamu layak untuk ku utamakan. Kamu lebih dari sekedar hal yang kuucapkan”

“Tha, cukup. Kubillang cukup” Ucapnya lirih

Mereka terdiam Artha tidak tahu lagi harus bicara apa, jika nyatanya, dengan kehadirannya justru membuat Kinara semkain tersiksa. Ia benar-benar bimbang harus bagaimana. Artha seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

“Ikut aku” Artha meraih tangan Kinara, dan mencoba membawanya. Kinara yang sudah pasrah dengan segala bentuk tindakan yang akan terjadi

“Mau kemana tha?” Tanyanya berulang kali

“Tidak jauh, jalan kaki sudah cukup”

“Engga, aku tidak mau menambah kenangan yang akan memperberat saat perpisahan itu datang. Aku tidak suka perpisahan, tapi mengapa aku selalu dihadapkan dengan kehilangan. Aku selalu menjadi beban, dalam setiap peran yang kau mainkan. Lepaskan thaa”

“Aku tidak setuju dengan ucapanmu” Ucap Artha lalu menatap gadis itu, yang sibuk menyalahkan dirinya sendiri

“Aku tidak membutuhkan persetujuanmu, karena yang kutahu begitu. Apakah diisi kepalamu tidak ada yang lain tha?”

Untuk kesekian kalinya. Laki-laki itu kembali diam. Ia membungkam suaranya dengan terus membawanya.

Tha, jika semua hal bisa kita rencanakan dan dapat berjalan sesuai keinginan. Maka akan kurangkai setiap kejadian dengan indah bahkan tidak tersisa air mata yang  jatuh untuk kesekian kalinya. Aku tidak suka perpisahan, tapi mengapa aku selalu dihadapkan dengan kehilangan. Aku tidak mau kamu pergi meninggalkan. Tapi itu tidak mungkin untuk diwujudkan. Biarlah perkataan manismu menjadi bisikan doa yang kau ucapkan, biarlah tuhan mendengarkan semua bisikan baikmu dan menganggapnya sebagai rangkain permohonan.

Aku egois jika harus mendekapmu lebih erat, untuk selalu menemaniku. Maka akan ku biarkan, setelah ini apa yang akan terjadi. Akan kuperlihatkan padamu bagaimana dunia memperlakukan pribuminya sendiri. Jika waktu boleh berhenti, aku akan selalu ingin disini, disaat seperti ini. Tidak boleh ada yang mencurimu bahkan, sang waktu sekalipun.

Kinara melihat sekitar, tidak asing baginya lokasi ini.

“Ini sawah tha. Kamu sulap jadi apa?” 

Ia melihat sekelilingnya. Kinara masih tak percaya, dengan apa yang lelaki itu perbuat untuknya.

“Sudah kubeli, dan kepemilikian menjadi namamu. Tidak perlu kamu cari tahu, bagaimana aku mendapatkannya. Karena lagi, semua kulakukan untukmu. Kamu ingat waktu kecil, kita selalu bermain disini, bahkan sampai belajar dan aku tidak mau tapi tetap kamu paksa pun aku menurutinya, kita melakukan di sawah ini.”

Artha menunjukan dengan penuh semangat, bahwa ia yakin Kinara akan senang ketika melihatnya

“Aku beli, karena aku tidak ingin semua kenangan yang tercipta, hanyalah menjadi kenangan semata. Sementara untuk itu,” ia menunjuk setengah lingkaran yang terbuat dari kaca transparan, yang diterangi dengan lampu yang begitu terang di penglihatan, lalu ia melanjutkan

“Setengah lingkaran, mengingatkanku ketika dulu, kita pernah bermain di wahana bersama, wahana air dengan balon dan kita berada di dalamnya. Hanya berdua saja. Waktu kecil pun, kamu ingin sekali melihat benda langit, namun tidak mau ada nyamuk yang menggigiti. Maka, sudah kubuatkan itu untukmu. Untuk kau singgahi, kamu bisa melihat bintang dan bulan bertebaran, kamu bisa menyaksikan rerintikan hujan yang sangat dekat di penglihatan, bahkan pelangi, yang selalu kau imipikan semoga bisa segera terciptakan. Kamu ingat semua itu kan ra?”

Gadis itu masih menatapnya, tak berkedip saat ia bercerita dengan penuh semangat kepadanya. Mengapa di isi kepalmu hanya ada aku? Segala bentuk tindakanmu kenapa harus aku yang selalu kau jadikan alasan atas apa yang kau lakukan. Itulah yang membuatku semakin sedih tha, kamu tidak pernah memikirkan dirimu sendiri. Kamu selalu menomerduakan kebahagiaanmu diatas kebahagiaanku.

“Besok. Aku menyuruhmu untuk kembali. Maka pulanglah tha”

Perkataan Kinara, bak petir disiang bolong. Artha tidak bisa mempercayai hal ini terlontar padanya. Setelah Kinara menyuruhnya pergi tadi sore untuk istirahat, ia mempersiapkan hal ini begitu matang, sampai-sampai ia belum istirahat karena sempitnya waktu untuk di persiapkan. Justru, alasan Itu yang Kinara tidak suka. Artha memperdulikan Kinara tapi lupa dengan kondisi tubuhnya sendiri.

“Untuk apa aku pulang? Jika rumahku ada pada orang yang kutatap sekarang”

“Untuk merampungkan cita-citamu di negeri orang tha. Aku menyuruhmu istirahat, tapi kamu tidak lakukan. Berhenti memikirkan diriku tha.”

“Aku cuma ingin merayakan ulang tahunmu, dengan umurmu yang kian bertambah ra. Maaf, aku harus buat ini, disaat kondisimu yang seperti ini. Aku ingin, menghilangkan kesedihaanmu, hanya itu saja. Walau aku tidak tahu, akan berhasil atau tidak. Perayaan ini sekaligus kado yang telah kupersipakan”

“Tidak berhasil tha. Justru, kamu malah memperparah semuanya. Aku tidak suka perayaan, dengan perayaan orang yang kusayang pergi meninggalkan. Aku benci perayaan. Kamu tha, kamu membuatku semakin menghujam semesta, ternyata dunia memperlakukanku dengan begitu kerasnya”

Tangis Kinara semakin pecah, kakinya tak kuat untuk menopang tubuhnya, dengan mudah ia menjatuhkan tubuhnya. Tangisan histeris pun terdengar, seperti saat di pemakaman tadi. Lelaki itu, semakin merasa bersalah padanya.

“Maafkan aku ra” Ia membawa tubuh Kinara berada di pelukannya.

“Lepaskan atau aku akan lebih membencimu”

Dengan kasar kinara mendorong tubuhnya begitu hebat. Artha pun melanjutkan ucapannya “Aku hanya ingin membuatmu bahagia. Aku gak tau bakal kayak gini jadinya”

Satu-satunya lelaki dihadapannya itu, terlihat begitu menyedihkan. Bahkan, untuk menatap wajah Kinara pun enggan. Itu karena dia merasa bersalah atas apa yang ia lakukan.

“Sudah kubilang. Cukup memikirkanku, kamu fokus pikirkan dirimu sendiri”

Mungkin bagi kebanyakan orang beberapa perayaan terdengar menyenangkan. Terdengar begitu menghebohkan, hingga banyak hal yang harus dipersiapkan. Namun, tidak demikian bagi Kinara. Ia sudah trauma dengan segala bentuk perayaan yang justru membuat cinta pertamanya pergi meninggalkan, membuatnya harus merasakan kehilangan dengaan perasaan yang belum siap untuk ditinggalkan. 

Ra, hanya ini yang bisa kuberikan. Jika tidak sesuai dengan hal yang kupikirkan, maka tolong dimaafkan. Jika segala bentuk kesedihaanmu dapat kuubah menjadi hal yang menyenangkan, dan menjauhkan airmata dari topik yang sering kau ungkapkan. Pasti akan kulakukan. Hidup ini berat ra, perkara menjalankan dan mengikhlaskan, hanya terdengar indah di pendengaran namun tidak saat menjalankan.

Aku ingin selalu ada di saat kondisi terburukmu, aku akan selalu menemani walau aku tahu, aku tidak lebih dari seorang pengacau yang selalu menghantuimu. Aku telah menghancurkan dan membuat tembok pertahanan itu runtuh kembali. Ra aku banyak salahnya, ketika bersamamu akal dan logika tidak bisa berjalan dengan semestinya. Dan yang perlu kamu tahu. Mencintaimu adalah suatu kebenaran yang tidak bisa kuutarakan melalui ucapan. Tapi tidak dengan tindakan.

Kinara pun pergi, meninggalkannya sendiri dengan perasaan bersalah yang tidak bisa berhenti.

Biarlah, jika besok ia harus pergi. Aku sudah terlatih akan perihal ditinggalkan.


Posting Komentar

0 Komentar