Part 3 – Perbedaan
Perasaan bimbang menghantui batin Rakartha. Serba
salah, itulah yang terjadi padanya. Rakartha pun bersiap untuk pulang, ia berjalan
dengan terus menatap jalanan yang penuh dengan bebatuan. Tak lama ia telah
tiba, dirumahnya. Sepi, sunyi selalu ia rasakan ketika disini. Sambil
menghembuskan napas kasarnya. Ia berjalan menyusuri tangga rumahnya, menuju
kamar miliknya di lantai dua. Tiba-tiba seseorang memanggilnya begitu lantang.
“Rakartha! Kamu melanggar janji. Sudah saya bilang,
waktu kamu untuk menemuinya hanya satu jam. Dan kamu melewati itu hingga
berjam-jam. Jangan harap, besok bertemu dengannya. Karena, saya tidak akan mengijinkan.”
Artha pun membalikkan tubuhnya, melihat sosoknya yang
penuh dengan emosi, ia pun langsung menuruni anak tangga. Hingga tubuhnya
begitu dekat dengan pria dihadapannya itu.
“Dia sedang berduka yah, aku ingin menemaninya. Aku
akan selalu ingin menemaninya” Ucapnya, dengan begitu halus. Ya, lelaki itu
adalah ayahnya. Dengan rambut yang sudah hampir berganti menjadi putih, namun
sosoknya masih tetap kuat dan tegap. Sosok utama yang sangat membenci hubungan
mereka.
Itu lah salah satu yang menjadi alasan Kinara, mengapa
ia bersedih. Mengapa hubungan mereka terlalu sulit untuk dilalui, mengapa
hubungannya begitu berat untuk dijalani. Ya karena, mendapat restu nya saja
untuk bersama, itu tidak bisa
“Cukup, jangan
bicara seperti itu atau…” belum sempat ia bicara, perkataanya sudah lebih dulu
dipotong oleh anaknya
“Atau ayah akan memecat ibu nara? Aku sudah bosan
dengarnya yah, aku tau kami berbeda, tapi perasaan tidak bisa di kemudikan
sesuka hati yang ayah inginkan, aku gak peduli mau bagaimanapun atau apapun
itu. Sungguh, aku hanya ingin menemani dan melindunginya. Sekalipun kami tidak
ditakdirkan bersama, atau kinara bersama dengan cinta lainnya. Aku rela, jika
itu membuatnya bahagia. Aku rela, mengikhlaskannya karena aku tahu, kami memang
gak akan pernah bisa bersatu. Aku hanya ingin menemaninya, karena yang kubisa
hanya itu” Tangan pria dihadapannya itu bergerak maju, menampar keras pipi
kanan Artha
“Jangan bicara itu lagi! Dilihat dari segi apapun kamu
tetap tidak bisa bersama. Jadi, jangan buang waktu untuk hal yang tidak
berguna. Selesaikan sekolahmu, lalu kembangkan perusaahaan seperti yang saya
harapkan. Sampai kapanpun, tidak pernah saya restui kamu menjalin hubungan
dengan anak pembantu.”
“Ayah, ibu nara itu sudah aku anggap seperti ibuku sendiri.
Sedangkan, ayah dan mama kemana saat aku butuh kalian, kemana saat aku sedang
jatuh, kemana kalian ketika anaknya membutuhkan dukungan? Bahkan, tidak pernah
sedetikpun, kita menghabisan waktu bersama. Sebenarnya aku ini anak siapa?”
suaranya meninggi, badannya gemetar. Untuk kesekian kalinya, kembali terjadi.
Pria itu menamparnya berulang kali bahkan badan Artha tak mampu menahannya
“Jangan bantah ucapan saya. Sekarang kamu masuk!”
Artha pun pergi meninggalkannya. Kebimbangan selalu saja menghantui batinnya,
mengapa anak kandungnya diperlakukan sedemikian tega oleh orang tuanya sendiri.
Aku anak siapa sebenarnya, tuhan? Tidak
pernah ada kasih sayang yang tertorehkan, tidak pernah ada kelembutan, bahkan
ketulusan yang dapat kurasakan.
Ia melempar tas juga kopernya. Lalu merebahkan
tubuhnya, dan mengambil ponsel yang ada di sakunya.
“Seperti
perintahmu, aku sudah pulang ra. Disertai, pipi yang kembali berwarna. Selamat
beristirahat, mimpi indah ya?” Artha mengirim pesan kepada Kinara, ritual setiap malam
yang pasti selalu lelaki itu lakukan. Ia pun meletakkan hp nya di tempat tidur
dan langsung pergi untuk membersihkan diri.
Setelah 30 menit berlalu, selesai sudah ia mandi dan
makan. Artha pun bergegas mengecek ponselnya kembali dan mendapati jawaban dari
perempuan itu. Semarah apapun Kinara, jika Artha sedang begini dan dalam
kondisi seperti ini, pasti ia tidak kuat jika harus bermusuhan dengannya
“Sekarang, kamu pergi ke dapur ambil air juga es.
Jangan lupa handuknya, lalu kompres. Lakukan sekarang!” Ucapan Kinara bak magic bagi Artha. Ia
tidak berani, untuk tidak melakukannya. Rakartha pun pergi ke dapur, untuk
mengambil itu semua. Pria itu mengompres pipinya yang sudah tidak begitu sakit.
Setelahnya ia membuka kamera dan mengirimkannya padanya
“Seperti ini kan ra? Aku udah gak sakit” tak butuh waktu lama, dering ponselnya
kembali bergetar
“Itu masih lebam Rakartha. Kalau masih begitu, tidak
perlu lagi menemuiku” Rakartha tersenyum ketika mendapati pesan itu. Dengan begini omongan
Kinara tadi, tidak lah nyata.
Lelaki itu pun berbaring untuk beristirahat
#########
Keesekon harinya, Rakartha kembali menemui Kinara
dengan diam-diam. Seperti biasa ia akan turun melalui jendela kamar, dan dengan
bantuan tangga yang selalu ada di dekat jendela kamarnya. Ia menurunkan tangga
dengan penuh hati-hati. Artha pun berlari sekuat tenaga setelah berhasil keluar
dari rumahnya. Kemana lagi, kalau bukan rumah Kinara. Mendapati sosoknya yang
tengah menjemur pakaian, ia pun langsung menghampirinya.
“Selamat siang ra” Disertai senyuman, dan ia pun
langsung membantu pekerjaan Kinara
“Masih sakit?” Tanya Kinara, yang sibuk menjemur
pakaian
“Apanya?” Tanyanya, pura-pura tidak tahu
“Wajahmu tha” Kinara langsung memperhatikan wajah
lelaki itu dengan seksama. Ia mendekatkan tubuhnya, menyipitkan matanya,
melihat dengan teliti apakah lukanya sudah di obati.
“Tidak, kan sudah diobati semalam” Artha pun
menggeleng dengan cepat
Mereka kini telah selesai menjempur pakaian. Hari
mulai terik, waktunya untuk menunaikan shalat bagi Kinara
“Aku shalat dulu ya tha. Kamu disini?” Kinara melihat
ke arah Rakartha yang sedang berjongkok, berbicara pada kucing liar yang entah
darimana asalnya.
“Aku ikut, sekalian mau ketemu ibu” Ia pun beranjak
lalu berdiri
Artha mulai mengekori Kinara dari belakang. Kinara
pergi menuju tempat untuk berwudhu, sedangkan Artha pergi menemui ibu Kinara
yang ada di dapur
“Mau aku bantu bu?” Tanyanya, lalu ia duduk di bangku
kecil dekat ibu Kinara
“Eh Artha, sudah ijin belum datang kesini?” Artha
menggeleng, lalu mengambil pisau untuk memotong sayuran didepannya
“Seperti ini kan bu motongnya?” ia memperlihatkan
sayuran, yang berhasil ia potong
“Iya nak, sayurannya di potong kecil-kecil aja, agak
memanjang” Ibu nara melihat ke arahnya yang tampak serius dengan pisau dan
sayurannya “Hari ini hari Minggu, kamu tidak ibadah?” Tanya ibu Kinara padanya
“Sudah bu, sebelum dari sini”
“Tunggu itu pipi kamu kenapa?” Tunjuk ibu nara padanya
“Jatuh bu semalam” Elaknya
“Ini bukan jatuh, kamu habis berantem yaa? Ibu ambil kotak
p3k dulu ya nak” Ibu Kinara pun mulai mengetahui alasan mengapa pipinya
berwarna. Karena, hal ini sudah biasa terjadi. Ibu nara pun berdiri, niat hati
ingin mengambil kotak itu namun,
“Ini bu kotaknya, aku saja yang obati” Namun, Kinara
sudah lebih dulu mengambil kotaknya
“Sudah selesai kamu shalatnya?” Lelaki itu mendongak
ke arahnya melihat gadis itu
“Aku penasaran sama rumah setengah lingakaran itu.
Kita kesana sekarang!”
“Oke” Rakartha senyum penuh kemenangan
Saat diperjalanan tidak ada yang bicara, mereka
memilih bungkam.
“Nah ini rumahnya” mereka telah tiba di rumah itu.
“Cara bukanya seperti rumah pada umumnya. Tapi, ada kodenya sebelum masuk.
Kodenya rainbow is coming soon” Artha
memencet huruf-huruf itu dan terbukalah secara otomatis, jika pada umumnya
pintu terbuka ke samping atau kebelakang. Lain hal dengan rumah ini, pintunya
justru membuka dari bawah ke atas.
“Silahkan masuk” Rakartha pun mengambil tangan Kinara,
mereka pun masuk ke dalam, terlihat begitu luas ruangan ini. Dilengkapi
berbagai peralatan didalamnya, juga dengan aroma bunga yang menenangkan
“Duduk dibawah saja tha, sambil aku obatin lukamu”
Artha pun menurutinya, Kinara membuka kotak itu dan mulai mengobati Artha.
Rakartha melihat secara dekat wajah perempuan dihadapannya,
Tha, mau sekeras apapun aku membencimu. Mau
selihai apa aku berusaha menjauhimu. Tetapi tetap saja hati tidak akan pernah
salah tujuan jika sudah bicara perihal rasa. Kita tidak ada yang bisa
menyalahkan hati ingin kemana, dan bagaimana cara kerja semesta menjalankan
takdirnya. Tapi yang kutahu, hubungan kita tidak akan bisa berakhir bahagia,
terlalu lengkara bagi kita berdua untuk bisa bersama. Maka, ketika kita
sama-sama tahu akan ada badai setelahnya, mengapa kita masih berusaha untuk
merampungkannya? Katamu, jalani saja yang ada di depan mata, namun sudah
terlihat jelas pula, bahwa akan ada akhir yang tak bahagia.
Sepersekian detik kemudian, air mata sang gadis
menetes
“Kamu nangis?” Kinara memalingkan wajahnya dengan
cepat, Rakartha yang mengetahuinya, langsung mengusap lembut air mata Kinara. Mengapa ia menangis? itu yang menjadi
pertanyaan Rakartha
“Aku cengeng ya tha, kamu sampai ribut dengan orang
tuamu pasti karena aku lagi. Kenapa sih tha, kita tetap melanjuti? Kenapa kamu
selalu membelaku sampai harus seperti ini? Kamu selalu saja menomerduakan
dirimu sendiri, kamu lupa tha bahwa kebahagiaan mu layak untuk dicari” Kinara
menahan isakannya lalu melanjuti “Banyak orang yang kau temui, mengapa harus
aku?”
“Karena aku tidak ingin yang lain. Perjalanan dalam
misi pencarian, ku harap berakhir pada wanita dihadapanku, Kinara Adhisti Inka.
Aku ingin menjadi salah satu bagian dari duniamu.” Artha mengusap kepala Kinara
dan membenarkan rambutnya “Sejak kecil, kita sudah bersama, aku sudah
mengenalmu sebagai gadis istimewa. Sedari kecil pula keinginanku untuk
membahagiakanmu itu sudah lebih dulu tercipta. Maka, ketika kamu bahagia aku
sudah lebih dulu bahagia”
“Tapi tha, kebahagiaan mu itu layak dicari dan itu
bukan ketika kita sedang bersama. Kita terlalu berbeda, kita terlalu tidak
nyata untuk menjadi sepasang kekasih yang sempurna. Kamu terlahir kaya raya dan
aku sebaliknya. Orang tuamu tidak akan pernah merestui tha, jadi untuk apa dilanjuti?
Lebih baik, kamu cari wanita yang layak dan pantas untuk bersanding denganmu
nanti.” Badannya gemetar, air matanya tidak terbendung lagi. Ia menangis deras
dihadapannya “Tidak hanya itu kan tha, bahkan agama kita pun jelas berbeda. Mau
bagaimanapun usaha kita, mau bagaimanapun doa yang kita utarakan pada tuhan.
Tetap saja, jika urusannya dengan sang pencipta kita kalah telak tha. Kita gak
akan mungkin bisa bersama, terlalu banyak rintangan dan halangan jika kita
terus memaksakan”
“Kebahagiaan itu ada ketika kita memperjuangkannya,
dan berani mengambil resiko atas segalanya. Jika nantinya waktu itu tiba, waktu
dimana kamu menemui cinta yang lain dan itu bukan aku. Maka aku akan berusaha
sekuat yang kubisa untuk belajar mengikhlaskanmu. Akan kuikhlaskan semua kisah
kita hanyut terbawa air mata, yang menjadi saksi bisu perjalanan cinta. Akan
kuikhlaskan semua kenangan yang harus benar-benar kita rampungkan. Aku tidak
tahu, akan berapa lama aku membutuhkan waktu untuk itu semua. Tapi ra, diantara
kita tidak ada yang tahu masa depan akan bagaimana, maka selagi waktu itu belum
tiba, aku ingin membahagiakanmu dengan cara yang ku bisa. Tolong jangan
membenciku ra, apalagi menyuruhku untuk menjauhimu, karena aku sudah sedih
ketika kamu kembali meneteskan air mata itu lagi.”
“Tha” ucapnya lirih sambil menatapnya “Kita hanya
melakukan hal bodoh. Jika kita sudah sama-sama saling tahu kedepannya akan
seperti apa kisah ini berujung. Kisah yang sudah tahu jalannya akan kemana tapi
tetap saja diteruskan. Diibaratkan kita sama-sama sedang melakukan perjalanan.
Namun di depan sana, kita saling mengetahui bahwa jembatan itu sudah putus di
tengah jalan. Otomatis, kita tidak bisa lagi melanjutkan perjalanan itu tha.
Sebelum kenangan itu tercipta, lebih baik kamu jalani kehidupanmu tanpa harus
pedulikan aku”
“Kinara, lakukan saja hal yang ada di depan mata. Kita
tidak tahu bagaimana masa depan memperlakukan sekenario takdir kehidupan. Aku
percaya, bahwa takdir akan menemui jalannya. Sesulit apapun kelihatannya, jika
sudah menjadi kepemilikannya pasti tidak akan ada yang bisa menghalanginya. Aku
akan tetap menemanimu, sesulit apapun kenyataannya”
Aku tidak suka perpisahan, tapi mengapa
takdir kerap memihakku untuk merasakan kesedihan. Aku takut jika harus kembali
kehilangan. Tuhan, mengapa cobaan selalu jadi hal yang berputar sedemikian
cepat tanpa menyelipkan sedikit kebahagiaan? Setelah banyak hal yang hilang,
kisah ini pun harus turut berakhir pula sekarang? Karena aku tahu, cerita ini
tidak bisa lagi untuk dilanjuti. Tidak ada lagi yang bisa dijadikan alasan
untuk tetap terjadi. Kita sama-sama saling mengetahui. Bukan hanya perkara
melawan restu orang tua, namun restu sang kuasa tidak pernah akan berpihak pada
kami seutuhnya.
0 Komentar