Matematika atau ahli bahasa?

walau keduanya gak sejalan tapi bisa kan buat seiringan



“Enak ya jadi kamu, gak perlu bawa kalkulator tapi hitunganmu selalu cepat dan tepat. Aku kalau disuruh main tebak-tebakan dan lawannya kamu, aku semangatnya di awal doang pas dengar kata sama kamu, tapi pas pertengahannya aku udah angkat tangan karena selalu ketinggalan.”

“Kalau aku disuruh main bola dan lawannya kamu, Arga. Aku pastikan, gak akan bisa menang. Lari mu cepat disertai langkah yang besar. Aku pasti ketinggalan di belakang yang sudah engap-engapan. Kalau kamu lihat kekurangan kamu sama kelebihan orang lain, itu gak seimbang. Curang. Lagian manusia gak ada yang sempurna sekalipun donat coklat disertai tiramissu dan sedikit matcha yang pekat.”

“Donat itu akan sempurna kalau yang ngeliat kamu”

“Dan itu sama seperti kelebihan kan, kita sebagai pemiliknya, orang satu-satunya dipercaya sama diri sendiri. Bilamana mengetahui dan melihatnya sebagai suatu pemberian tuhan yang patut untuk diapresiasi. Maka kelebihan itu akan menjadi suatu karya yang sempurna jika dilihat oleh mata yang tepat.” 

“Kamu ingin menjadi ahli matematika atau ahli bahasa yang menciptakan banyak karya Rin?” 

“Gatau, kalau menurutmu aku cocok dimana?”

“Dua-duanya pasti bisa kamu kuasai, walau keduanya gak sejalan tapi bisa kan buat seiringan”

Nampak seperti prolog pada cerita fiksi lainnya, tentang sebuah cerita cinta pertama yang mengantarkan untuk berpetualang menjelajah dunia baru yang sempat ia katakan, bahwa matematika dan bahasa akan mengantarkanku beriringan, untuk melihat secercah harapan akan masa depan. Iya ucapannya bak seorang pesulap yang mengucapkan mantra sim salabim. 

Iya, dialog itu adalah awal untuk aku perlahan mulai menatap masa depan. Sedangkan dia, aku tidak tahu dia kenapa, karena sejak hari itu kami tidak lagi tegur sapa, dia menjadi orang asing tiba-tiba. Dan aku yang mengetahui akan sifatnya, pun bungkam seribu bahasa karena dia tidak lagi mengenali aku seperti yang pertama kali kukenali. 

Nyatanya yang membuat rasa mie kuah itu enak karena waktu makannya, bila makan nya diawal-awal pasti masih hangat dan nikmat. Tapi, jika sudah kesini makin rengang dan tidak berasa. Tapi tetap saja dimakan dan tidak keberatan karena kesan yang pertama bilamana tidak berasa tetap saja masih terasa nyatanya. Aduh, aku ngomong apasih sampai ke mie kuah segala. Intinya, erat bisa berjarak tanpa perlu alasan yang masuk akal ya, lagipula aku ini siapa, tidak berhak untuk menanyakan kata kenapa. Mungkin pertanyaan itu lebih baik disimpan dan gak perlu disuarakan.


Tempat kue sedang ramai saat ini, mungkin perayaan sedang banyak dirayakan di waktu akhir tahun. Aku yang sudah biasa kesini, langsung pergi ke meja yang kusukai. Nanti juga pelayannya kesini sendiri

“Cerita selanjutnya yang kamu janjiin, sedang aku tungguin” aku merasakan kehadiran seorang lelaki, berdiri di samping kiri

“Arga?”

“Donat coklat disertai tiramissu dan sedikit matcha yang pekat, duduk di sudut pojokan, gak keberatan buat ada di kerumunan. Siapa lagi kalau bukan kamu, Rinjanira” rasanya, mau loncat-loncat aku disini

“Kok kamu ada disini?”

Dia tersenyum, duduk di sampingku lalu mematikan rokok yang ada di genggamannya

“Aku yang sengaja pesan, gamungkin pelayan datang kesini disaat kondisi ramai begini Rin” aku diam, ia melanjuti omongannya

“Penulis buku ini sibuk banget ya” Ia melihat mejaku dengan buku yang berantakan

“Penulis? Aku bukan penulis ga, buat nerbitin satu buku aja aku gabisa”

“Kirimin ke aku, nanti biar aku yang cetak” Semua cerita isinya tuh tentang kamu, yakali aku kirimin

“Ah gausah, lagian kamu tau darimana sih aku nulis”

“Aku selalu percaya dengan kamu Rin, dan tentunya dengan kekuatan sihir omonganku. Kamu harusnya bilang makasih sama aku Rin”

“Daridulu sampai sekarang kamu susah ditebak, udah hilang gak bilang sekarang dateng gak pake salam, terus suka sok tau lagi”

“Daridulu sampai sekarang kamu masih jadi Rinjanira yang sama. Marah-marah terus kerjaannya tapi gak perlu banyak waktu buat aku bisa kembali mengenali” gak beres, harus diganti nih topiknya

“Tau ah cape ngomong sama kamu, ohiya aku kan sekarang lagi kuliah. Masih semster 1 sih dan lagi ngambil jurusan..”

“Matematika?”

“Aku kayaknya gak usah ngomong deh, kamu udah tahu semua. Aku pulang aja ya” Aku benar-benar akan pulang, memastikan tidak ada barang yang ketinggalan. Tapi, aku lupa akan satu hal lalu kembali melihatnya dan ia mengatakan

“Donatnya belum dimakan”

“Ini mau diambil buat dibawa pulang” kenapa bisa lupa si yatuhan

“Makanya jangan marah-marah terus” 

“Aku pulang”

“Aku udah gak tinggal disana Rin, makanya kamu udah gak pernah liat aku lagi”

“Loh kenapa? Karena ibu dan ayahmu?” aku pun kembali duduk untuk mendengarkan kata yang akan ia lontarkan selanjutnya.

“Iya, aku mau ucapin makasih sama kamu. Karena sampai sekarang cuma satu tujuan rumah yang akan kucari. Satu tujuan rumah yang selalu ku ingin hadirkan nanti. Makasih waktu itu udah pernah ada dan menemani setiap harinya. Perkataan bijak mu selalu jadi kata motivasi yang gak pernah aku lupain. Makasih rin”

“Makasih terus, aku gak ngasih apa-apa”

“Iya kan biar bisa terus sama-sama Rin” Apalagi, ini yatuhan. Gabisa kalau begini terus

“Aku pengen pesan minuman deh” 

“Ya tinggal pesen aja, gausah bilang bisa gak sih. Waktu pergi aja gak bilang-bilang” ia diam

“Kamu masih inget minuman favorit kita gak”

“Aku udah lupa, buat apa diinget kalau yang ada malah nyakitin dan ngembaliin semua kejadian dulu tampak nyata kembali. Padahal orangnya gak ada, terus sekarang kamu nanya kayak gini, balik kesini dan ngomong kayak tadi tuh buat apa, untuk hubungan pertemanan aku udah kehilangan kamu dari waktu kamu pergi tanpa dikabari. Aku gak kenal siapa kamu lagi”

Posting Komentar

0 Komentar