Mulai lagi, - Part 7

 Tepatnya kini hari Minggu di pukul 21.00 WIB.

 “Keluhannya apa Mas?” Ucap seorang wanita memakai baju putih dengan termometer ditangannya dan tanda identitas nama di dada.

“Demam 39 derajat, muntah-muntah, kayaknya lambung saya kena deh sus” Ucapnya dengan suara yang parau.

“Baik, cek suhu dulu ya” Suster itu menyerahkan termometer, lalu diambil oleh lelaki itu. Sekitar 2 menit, terlihat angka suhu, 39,8 derajat.

“Masih tinggi, sejak kapan muntah-muntahnya?” Tanya suster untuk memastikan kondisi.

“Dari Jumat sore”

“Baik mas Arya, kami akan lakukan pemeriksaan tindak lanjut oleh dokter. Sebelum itu, bisa urus administrasinya dulu ya”

“Baik sus”

Arya berada di ruang IGD, kondisi tubuhnya yang lemas membuat lelaki itu memutuskan untuk ke Rumah Sakit. Ia mengamati, perjalanan pasien dan tenaga medis yang beralalu lalang memasangkan infus pada setiap pasiennya. Ruangan IGD itu terhubung, menjadi jalan penyambung antara ruang rawat, radiologi, USG, CT-Scan dan administrasi. Jelas, ia bisa melihat pergerakan dari setiap sudutnya, serta isinya, yang memiliki tujuan berbeda-beda.

Ia menyipitkan matanya, memfokuskan pada satu orang yang jelas pernah lama ia pandang, memakai baju pasien, dengan infus ditangannya juga memakai kursi roda dibantu oleh suster dan ibu yang ada disebelahnya, lewat begitu saja di hadapannya.

Dengan tenaga yang ia punya, berjalan sekuat yang ia bisa, untuk menyamai posisinya. Dari belakang ia lihat, bahwa mereka menuju ruang radiologi. Seseorang itu masuk, lalu suster dan ibu berada di luar menunggu.

“Ibu” Ucapnya.

“Eh Arya, kamu kok disini, sakit apa?” Ibu itu tersontak melihat Arya ada disebelahnya.

“Aku lagi nunggu dokter, Karina kenapa bu?” Iya, pasien itu tidak lain adalah Karina.

“Karina lagi di rontgen paru-parunya sayang” Arya terdiam. Hanya bisa menatap lampu merah yang kini menyala menandakan perempuan itu sedang dalam penanganan.

Sekitar 10 menit, mereka menunggu diluar. Kini susternya mejemputnya ke dalam, dan Karina pun keluar bersama kursi rodanya dari ruang radiologi.

“Karina” Ucapnya lembut, ia menjatuhkan tubuhnya, berlutut tepat di hadapan perempuan yang ia tidak sangka, akan hadirnya di pertemuan kali ini.

“Arya” Karina terkejut, mendapati lelaki itu ada di depan matanya sekarang.

“Kenapa kamu gak bilang” Ia menatapnya, dengan tatapan yang lembut. Karina hafal bahwa itu, tatapan yang tidak ia suka.

“Gua baik-baik aja, Arya.. Jangan ngeliatin gua kayak gitu, deh” Karina memalingkan wajahnya.

“Gak mungkin baik-baik aja, kalau ada diruangan ini. Bulan lalu, kita ketemu di Kwitang kamu baik-baik aja”

“Udah ah, lu ngapain disini?” Tanya Karina cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, memperhatikan tubuh Arya.

“Kenapa gua gak tahu, kondisi lu… Gua nyesel Rin, gua nyesel buat semuanya” Arya melanjuti, “Aku mau nemenin kamu”

“Arya.. Muka lu pucet, lu lagi gak baik-baik aja, yaa, temuin dokter atau berobat dulu”

“Kamu lebih pucet Karina… Aku gak pernah liat kamu kayak gini.”

“Arya..”

“Oke, gua nemuin dokter dulu. Di ruang berapa?”

“271”

----

Tidak butuh waktu lama bagi Arya menemui Karina, selesai dinyatakan untuk melakukan pengobatan di rumah saja, lelaki itu mantap untuk menemui Karina. Pikirnya, Karina jauh lebih membutuhkan.

“Pasti lambung lagi yang kena” Ucap Karina begitu saja

“Ya gitu deh Rin, pesona cowo yang obses sama masa depan”

“Dasar!” Karina menggelengkan-gelengkan kepala.

“Kenapa Rin, mau daftar?”

“Buat?”

“Jadi pasangan”

“Hah? Lagi?”

“Sesuatu yang dimulai lagi, itu lebih baik Rin. Kalau kata penulis mah gini, belajar dari masa lalu, dan buka kembali lembar baru”

“Penulis mana yang lu maksud.” Kini, mereka mengganggap itu hanya sebagain candaan, untuk jadi bahan tertawa yang menghadirkan senyuman.

Tiba-tiba Karina melihat rambut yang jatuh dengan bebas di lantai ruangan “Rambut gua rontok Arya, jelek deh” Arya menggelengkan kepala dengan cepat.

“Efek obat ya” Karina mengangguk

“Tipis banget” Keluhnya kembali.

“Nanti juga tumbuh lagi, Karina”

Karina mengingat kejadian tepat 1 minggu setelah ia putus dengan Arya.

“Paket! mbak Karina” Seorang kurir berhenti di depan pagar rumahnya, memanggil terus namanya.

Karina pun menemui kurir tersebut, dengan pertanyaan dikepala “Paket? Saya gak pesen apa-apa deh perasaan, salah orang kali pak”

“Ini alamatnya bener kok mbak, namanya mbak Karina Adhisti Inka bukan?” Ucap kurir tersebut meyakinkan Karina.

“Iya itu bener saya, tapi saya gak pesen”

“Dari gebetan lu kali” Ucap Keysha tiba-tiba yang ada disebelahnya, ia adalah teman dekat Karina sejak SMP, hubungan Karina dengan Keysha, masih kalah lama dengan perkenalan Arya juga Karina.

“Ah mana ada, gua gak punya”

“Berarti mantan lu”

“Gak mungkin.”

“Coba buka dulu” Karina mau tidak mau, menerima paket tersebut. Karena memang itu untuknya.

Ia membuka, dari luar tidak ada petunjuk dari siapa pengirimnya.

Hair care?” Ucap mereka serempak.

“Wah lengkap nih Rin” Ucap Keysha mengeluarkan paket dari dalam kemasan, dari sana ia melihat sesuatu “Eh ada notesnya tuh” Tanpa berlama-lama ia langsung memberikannya kepada Karina.

“Break sebentar itu gak enak Karina, ini yang selalu kamu lupain tapi penting buat ngilangin overthinking”

“Emang gua suka lupa sih sama yang ini” Ucap Karina membalas pesan itu.

“Jadi siapa coba yang ngirim?” Ucap Keysha menggoda Karina. “Udah sih balikan aja” Sambungnya.

Tidak ada jawaban dari Karina, ia masih saja melihat paket itu, untuk akhirnya ia letakan di meja dekat lampu tidur.

“Kenapa dia bisa bilang gitu?” Tanya Keysha, bingung.

“Oh, gua selalu ngeluh, rambut gua rontok, setiap nyisir pasti aja ada yang kebawa. Apalagi waktu shampoan. Kek bakal botak gak ya gua nantinya. Gua gak paham, apa karena shamponya atau karena..” Belum selesai Karina bicara, Keysha menyambung.

“Pengobatan?” Disertai anggukan setuju dari Karina.

“Dia udah tau lu sakit Rin?”

“Terakhir hubungan kita belum, karena kita yang LDR dan gua gak mungkin kasih tau hal ini lewat handphone. Jadi gua tunggu waktunya, selama itu, gua gak keburu buat bilang ke dia”

“Jadi dia gak tau apa-apa” Karina menggeleng.

“Kacau lu. Mana ada pacar yang gak tau, pacarnya sendiri sakit, udah ke IGD mau masuk ruang inap lagi. Ih gila lu”

“Iya kan gak semua dia harus tau, walaupun itu pacar”

“Untuk yang itu, dia harus tau Rin.”

“Kita udah putus juga kan, ya mungkin, emang udah gak bisa dilanjutin lagi, ya mungkin emang dia gak perlu tau”

“Karina, kalau lu bilang alasannya. Dia juga gak akan hilang pergi. Gua yakin deh”

“Waktu gua di IGD, gua butuh dia. Tapi dia gak bisa dihubungin. Baru chat gua lagi, 1 Minggu setelahnya. Iya gua males dong, capek begitu terus. Ntah alasannya signal lah, waktunya lah, atau kesibukannya itu lah. Udah deh, cukup.”

“Iya, setidaknya lu harus kasih tau”

----

“Jadi, ternyata ini alasannya. Kenapa rambut kamu sering rontok”

“Maaf” Titahnya “Gak sempet bilang kemarin”

Mereka sama-sama terdiam.

Arya kembali memancing Karina “Kenapa sih harus ada overthinking, orang cantik gini, sampe ngalahin Ayu ting-ting”

Karina tertawa “Heh, kenapa tiba-tiba Ayu ting-ting dibawa”

“Biar sama aja sajaknya” Karina masih memperlihatkan senyumannya. “In inside, hati lu, udah penuh Rin, keliatan dari sana, gak perlu deh pake uji pembuktian”

“Oh iya? Aduuh, gua salting nih, Berapa banyak cewe yang udah diginiin?”

“Diginiin gimana? Disayang kali maksudnya” Kalimat yang Arya katakan, memang terdengar seperti godaan dan candaan. Walaupun itu benar, tidak ada yang keberatan dan mengambil maksud lebih. Karena masa lalu adalah milik mereka. Dan letaknya sudah benar ada disana.

“Arya..”

“Iya cukup banyak sih, tapi tetep aja, gak bisa diganti sama yang ada di depan mata gini” Kembali Arya mengeluarkan jurus handalnya itu.

“Maaf gak mempan, bapak co-founder yang terhormat” Karina mengulurkan lidahnya, ia meledek Arya.

“Lu kemarin ke kantor ya, gua lagi izin” Arya mengambil buah jeruk yang ada diatas meja, “Boleh kan?” Karina mengangguk.

“Dunia sesempit itu ya” Karina membenarkan posisinya duduknya.

“Dunia gak sempit, tapi kalau isinya udah tertulis Arya Keanandra dan Karina Adhisti Inka, mau kemana dan gimana juga, berakhir nya bakal terus sama-sama”

“Okey, fix. Gua kalah” Diakhiri dengan tawa yang pecah dari mereka berdua.

“Rin, orang yang ketemu waktu kita jogging, udah tau lu disini”

“Belum”

“Jangan diulangin lagi Rin”

----

Keesokan harinya, Karina sendiri, ibu dan Arya sedang pulang. Ibu yang mengambil baju lebih untuk persediaan, sedangkan Arya yang dipaksa harus mengikstirahatkan diri.  

Dengan postur tinggi tegap, ia dengan percaya diri masuk ke dalam ruangan. Biasanya buah dan roti paling banyak diberikan untuk orang sakit, namun dia, memutuskan untuk membawa permen Yupi. Ia masuk begitu saja, melihat sosok yang dicari sedang memejamkan mata. Ia masih terus memperhatikan.

Tidak butuh waktu lama, perempuan yang merasa akan hadirnya seseorang, kini membuka mata.

“Farid! Ngaggetin tau gak” Ia tersadar, bahwa laki-laki yang ia tidak beri tahu akan kabarnya, mengetahui dan tiba disini dengan cukup mengaggetkan.

“Karina hal kayak gini, masa gak cerita”

“Eh kok lu bisa disini?”

“Bisa disini, bisa disini” Farid mengulang dan meniru ucapan Karina dengan suara yang kesal.

“Ih cerita kok, tapi nanti, tunggu mendingan”

“Kalau gua gak kerumah lu dan dapet kabar dari ibu, lu sendiriannya lama disini.”

“Gak ada yang salah kan sama sendiri? Itu bukan kesedihan apalagi bentuk kasihan” 

Farid langsung menarik bangku. “Engga. Gua gak bilang gitu. Cuma kalau bisa berdua, kenapa harus sendiri, kalau bisa sama-sama kenapa mau menepi, Rin udahan dong jadi mandirinya, ini gua temenin”

“Ini bukan mandiri, tapi membentengi diri. Menolak rasa sakit dan patah hati. Karena sama-sama belum tentu berakhir sama-sama Rid”

“Jadi ini alasan lu nutup diri dan selalu begini?”

“Gini gimana?”

“Dingin”

“Maaf Rid... Setiap manusia tuh pasti selalu dihadapkan dengan perpisahan, dan gua orang paling gak siap dengan perpisahan. Gua tau rasanya ditinggal tiba-tiba, gua paham rasanya dipaksa harus mengikhlaskan, walaupun belum benar-benar reda. Kalau udah gini, siapa yang bisa nyembuhin, kalau bukan diri sendiri yang harus belajar pelan-pelan dan butuh proses yang gak sebentar.”

“Gua gak begitu Rin, gua mau ikut!”

“Ikut kemana”

“Ikut beli batagor”

“Jadi tiba-tiba batagor gini”

“Waktu itu lu lagi kepengen batagor, gua bilang beli 10 ribu, padahal gua belinya 5 ribu. Biar lu gak banyak makan gorengan” Karina membenarkan posisinya, untuk ia mendengarkan ucapan Farid sampai selesai “Taunya enak ya Rin”

“Iya enak, makanya gua mau beli. Batagor tuh, isinya 10 ribu cuma dapet dua Farid, lu beliin gua 5 ribu, gua cuma makan satu. Waktu itu gua gak mikirin harganya, gua pikir emang udah naik aja kali, 10 ribu jadi satu. Tapi, udahlah males gua ngomonginnya, mau nonton tv aja” Sambung Karina kesal.

“Yah jangan marah gitu Rin. Ntar beli lagi yang agak banyakan”

“Bukan soal beli laginya. Lu gak bisa nyepelein, trus bilang ntar beli lagi. Ya, kalau masih ada waktu, ya, kalau kita bisa kesana lagi. Waktu bukan punya lu Rid, gak usah sok tahu deh”

Kata-kata Karina barusan, menyihir Farid, ia terdiam mematung beberapa saat.

“Tapi kan, ini cuma soal batagor Rin, gua beliin deh sekarang juga”

“Tuh kan diulangin lagi. Gak semua hal, bisa diulangin lagi Rid, lu paham dong Rid maksud gua” Tangis Karina pecah detik itu juga, air matanya menetes satu persatu membasahi pipi. “Kalau kita gak punya kesempatan buat bisa ngulangin masa itu gimana, apa cerita ini yang lu mau bawa sampai akhir Rid, tentang penyesalan dan akhir perpisahan?”

“Rin, jangan nangis gini. Gua minta maaf. Bukan, bukan, itu yang gua maksud, maaf buat perlakuan gua kemarin”

“Pulang Rid!”

“Engga Rin!”

“Farid—”

Lelaki itu menghembuskan nafasnya “Gua diluar depan pintu, gak kemana-mana, panggil kalau ada apa-apa ya” Ia pun menuruti dan bergegas keluar.

Farid memikirkan dari luar sana, ‘Duh, iya lagi, gua keterlaluan sama dia, bercanda gua kelewatan, gimana si lu Farid! Lagian dia juga jarang makan gorengan, harusnya gapapa dia makan segitu, ah elah, dia jadi nangis gitu kan, jadi ilfeel deh dia sama gua’ Ucap Farid dalam hati dan fikirannya sendiri.

Waktu pun berlalu, Karina mengambil handphonenya, dan mengatakan “Masih disana?” Tidak lama lelaki itu datang.

“Rin maaf, gak lagi deh gua kayak gitu. Gua keterlaluan sama lu. Tapi gua gak punya maksud buat bikin lu kayak gini, maksud gua ya jagain lu dengan cara gitu, maaf banget Rin..”

“Gapapa Rid, kayaknya karena infus gua abis deh ini” Tunjuk Karina.

“Ih ini daritadi, kok lu gak bilang?”

“Gua udah bilang sama perawat waktu lu keluar tadi, tapi belum juga datang perawatnya”

“Bentar Rin” Farid langsung pergi begitu saja, ia memanggil perawat itu sesegera mungkin

Selang beberapa menit kemudian, tidak lama Farid datang bersamaan dengan perawat.

“Kok lama datangnya gini sih mba” Protes Farid.

“Maaf ya mas, tadi gak begitu jelas suara pasiennya. Ini jangan sampai habis, kalau bisa sisa segini, hubungi kami lagi.” Ia menunjuk cairan infus tersebut.

“Kalau ada bel kayak gini, tolong kesini ya sus. Ini berapa lama, durasinya?”

“Kalau kondisi seperti Mbak Karina ini harus dipantau terus ya mas, bisa 2 jam habis”

“Baik sus, terima kasih” Suster itu kini meninggalkan mereka.

Farid memastikan cairan itu dan berkata “Gak usah di aktifin mode mandiri lu, kalau ada gua disini”

Ia langsung mengeluarkan handphonenya, mengatur alarm, dalam waktu 1 jam 30 menit kedepan.

“Ngapain Rid?”

“Pasang alarm”

“Liat aja dari sini Rid” Karina menunjuk ke arah cairan itu.

“Jaga-jaga Rin, biar hal kayak tadi gak keulang lagi”

“Marah-marahnya ya?”

Farid menggelengkan kepala dengan cepat “Bukan. Tapi buat lu nangis, jangan sampai ini habis.”

----

Posting Komentar

0 Komentar