"Aku kadang suka kasian, sama kakek atau nenek yang pergi kesini sendiri. Jalan pun susah, ngomong terbata-bata, itu pun harus mengurusi apa-apanya sendiri. Seperti antri tiket, ke poliklinik, bertemu dokter, hingga pengambilan obat. Emang nya dia gak punya anak, keluarga atau saudara gitu yang mau menemani? Masa sih gak ada diantara mereka yang kasian akan hal ini" aku berbicara pada sosok lelaki di sebelahku.
"Mungkin ia gak mau dikasihani, mungkin ia mau untuk tidak merepoti. Tapi aku pun tetap gak setuju dengan kondisi ini"
"Iya kan, mereka gatau kondisi seperti apa dan bagaimana yang terjadi di rumah sakit secara tiba-tiba, bisa aja kan dokter tiba-tiba minta untuk ke ruang USG, atau ke ruang Radiologi atau parahnya harus rawat inap. Menurut ku itu bak mendengar berita kabar duka, padahal kita masih berbicara tadi pagi dengannya"
"Kamu takut?"
"Iya, wajar kan?" Ia mengangguk, sepaham denganku. "Tapi aku gak mau buat berhenti menikmati hari ini dengan membayangkan yang belum tentu terjadi. Aku gak mau merusak energi hari-hari selanjutnya, aku gak mau menghambat kabar bahagia yang datang tiba-tiba. Mungkin? Aku mau terus menjalani, menghadapi dan mensyukuri atas apa yang udah atau belum aku usahakan. Aku harus terus yakin, kalau kabar buruk bisa datang tiba-tiba. Kebahagiaan tanpa batas pun pasti bisa terjadi kapan saja"
"That's great, itu jawaban bagus. Kamu akan baik-baik aja, kalau kamu yakin kamu akan begitu" ia mengambil snack gandum dari sakunya "dimakan dulu"
"Setidaknya itu bikin aku lega dan noted ini!" Aku memperlihatkan kepadanya dokumen pdf yang sudah sekitar 6 bulan jadi favorit kepulangan. Ia tersenyum.
******
******
"Aku senang, kamu baca semua itu. Baik dan sehat selalu ya!" Ucapnya sambil melihat nomer antrian yang sedang kupegang, sambungnya "2 nomer lagi"
Aku terdiam sejenak "Tapii di catatan itu, kamu tau aku banget, kamu naksir aku ya?"
"Kan emang iya"
0 Komentar