Part 7 –
Jawaban
Sebelum gadis itu bicara, Artha kembali melanjuti
ucapannya “Lihat aku, tatap mataku ra” Kinara pun menatapnya walau pandangannya berlari entah
kemana “Ini adalah hal yang kamu takuti dan gak mungkin untuk terjadi.
Kamu gak boleh ngomong kaya tadi. Karena kita akan selalu bersama, itu janjiku.
Oh iya, aku belum cerita ya aku sudah pindah agama ra.”
Kinara sangat tidak suka
pada omongan Artha barusan. Artha yang paham akan ekspresi Kinara ia langsung cepat berucap “Bukan karenamu ra” Aku akan menceritakan
kejadian itu tapi tidak sekarang ya ra, dan hal itulah yang membuatku ingin pindah
agama. Sebab aku ingin kembali seperti ketika aku dilahirkan.
“Omongan kamu itu, yang membuatku serius akan
pilihanku ini tha. Kamu hanya memikirkan duniaku tanpa membuka pintu bagi
duniamu. Ini faktanya dan jadi masalahnya. Kamu tidak bisa terus menjadikanku
sebagai pusat dari duniamu. Menjadikanku sebagai semestamu. Tidak tha, daripada
terlalu sakit dan kamu justru kehilangan dirimu sendiri. Maka sekarang ini
adalah waktunya. Maaf aku sudah mengurungmu terlalu lama dalam sangkar yang
isinya hanya keegoisan. Maaf aku baru berani melepaskanmu.
Karena bila bukan sekarang, aku tidak bisa membayangkan akan seperti apa
duniamu”
“Ra, aku yakin kita akan berjalan kearah yang
sama. Dan keputusan ku yang kubuat ini sudah matang, itu juga berdasarkan
keinginanaku pribadi. Jadi jangan menyalahkan dirimu untuk hal yang tidak
terjadi. Ra, bila bukan sekarang mungkin nanti. Mungkin pada suatu hari yang
baik kamu dapat membalas nya dengan hal yang juga sama.” Lelaki itu mengusap lembut rambut
Kinara lalu tersenyum padanya “Bukan satu atau dua kali kamu memintaku untuk
pergi dari duniamu kan ra. Tapi, apa yang kulakukan? Aku tidak akan pernah
mengabulkan. Ra, aku sangat marah jika kamu mengatakan itu lagi. Kondisi mu
belum begitu pulih, kamu harus istirahat ya”
“Kamu pernah bilang lakukan saja hal yang
ada di depan mata. Kita tidak tahu bagaimana masa depan memperlakukan sekenario
takdir kehidupan. Dan sekarang aku menyerah tha, aku tidak bisa lagi untuk
terus ada di duniamu menjadi topik yang selalu kamu utarakan. Atau
bahkan kamu perbincangkan pada tuhan. Kita tidak tahu bagaimana masa depan,
tapi yang kulakukan sekarang adalah berusaha untuk merancang skenario dari
bagian masa depan yang kuinginkan. Yaitu, tidak dengan bersamamu. Maka
ucapanmu, akan kutepis sekarang ini. Bahwa, Kita tidak mungkin bisa berjalan
kearah yang sama” Bak petir disiang bolong, ucapan Kinara sangat menyakiti hati
Rakartha. Namun, ialah seorang Rakartha, mau bagaimanapun prilaku dan
tindakannya. Tetap saja, ia tidak akan mengabulkan permintaannya untuk kali ini
“Kamu curang. Kamu tidak melanjuti kata itu sampai
akhir. Aku percaya, bahwa takdir akan menemui jalannya. Sesulit apapun
kelihatannya, jika sudah menjadi kepemilikannya pasti tidak akan ada yang bisa
menghalanginya. Aku akan tetap menemanimu, sesulit apapun kenyataannya. Aku
akan tetap menemanimu, sesulit apapun kenyataannya.” Ia mengusap halus rambut
Kinara
“Aku serius tha, kamu yang pergi atau justru aku
yang hilang dari duniamu”
“Kamu pikir daritadi jawaban ku tidak serius?
Kinara, berhenti. Aku gak mau kita bahas ini. Percakapan kita udah gak sehat,
sekarang istirahat”
Kinara tersenyum kecil padanya. Lalu ia memejamkan
mata seperti yang Artha perintahkan.
Aku melepaskanmu tha, karena
hanya dengan cara ini aku bisa membiarkanmu untuk menjalani semesta yang kamu
miliki sendiri. Karena bentuk kasih sayang beragam caranya, dan aku ingin
membalas perasaan itu dengan seperti ini adanya. Beberapa hubungan memang ada
yang ditakdirkan untuk merasakaan kebahagiaan. Tapi tidak dengan jalan cerita
ini. Ketika cerita ini baru dimulai dan bahkan sampai bab akhiran. Kesedihaan
akan selalu jadi topik yang akan diperbincangkan, kehilangan akan selalu jadi
pengakhiran dari segala bentuk hal yang terjadi di kehidupan. Tapi, dengan
hadirnya semestamu, untuk pertama kalinya dalam dunia yang tidak nyata bentuk
rupanya. Ungkapan itu semua hanya penyangkalan. Tidaklah benar adanya tha. Kamulah yang menjadi alasan
atas segala ketidakmungkinan. Dunia ku perlahan bisa kugambar dan terlihat
bentuk wujudnya walau, hanya sketsanya saja namun itu sudah lebih baik dari
sebelumnya. Ya itu karenamu, kamulah orangnya. Kamu tetaplah menjadi pemeran
utama dalam setiap bab cerita yang mungkin akan dituliskan dalam waktu dekat
yang akan datang. Biarlah kepemilikan nomor satu mu, tetaplah menjadi hak tunggal
yang tidak pernah diakui namun begitulah adanya.
Cukup lama, Kinara memejamkan matanya.
“Aku pergi sebentar ya ra, ingin membeli dessert
vanilla kesukaanmu. Sebentar saja”
Setelah Artha pergi, Kinara tidak benar-benar terlelap
dalam tidurnya. Dan disaat itu pula, ibu nara pun datang menghampirinya. Ibu
nara sempat tidak setuju dengan keputusannya. Tapi, lagi dan lagi jika
keputusannya sudah matang, maka tidak ada satu orang pun yang bisa
menghalanginya atau justru menggagalkannya
Yaa, kamu yang pergi tha. Kamu
benar-benar mengabulkan permintaanku untuk terakhir kalinya. Maaf tha, aku rasa
tidak perlu ada pamitan karena itu terlalu menyakitkan. Biarlah aku berucap
sendiri dan membalas perasaanmu pada malam ini. Hanya malam ini. Setiap cerita
memang tidak selalu berakhir indah. Tidak selalu berakhir dengan tawa atau
datangnya kabar suka cita. Maka pada hari ini, malam ini, aku pamit pergi dari
duniamu. Setelah ini tidak ada lagi tokoh Kinara dalam bab-bab selanjutnya. Karena,
cerita ini sudah sampai pada ujungnya, tidak perlu lagi kesedihan dan kerepotan
yang sering kamu lakukan. Bahkan jawaban-jawaban yang kamu persiapkan agar aku
terlihat senang. Pelangi itu sudah datang tha, bersamaan dengan hadirnya
Rakartha Pramudya. Tidak ada yang perlu kucari tahu, karena segala bentuk hal
yang terjadi kedepannya. Aku sudah lebih siap dari sebelumnya. Jaga dirimu
untuk semestamu. Aku harap kita tidak akan pernah bertemu sampai waktu yang
baik akan tiba. Sampai jumpa, sampai jumpa Rakartha
Selesai, Kinara selesai menulis di kertas yang
sudah ia siapkan. Saat ia ingin pergi ada suatu surat pula yang sepertinya baru
saja dibuat. Dengan langkah cepat ia mengambilnya, dan meninggalkan kamar itu,
bukan saja kamar melainkan kota dan segala kenangan yang telah terisi dengan
indah disini.
Mengapa harus selalu surat. Apakah dengan cara
menuliskan, di kertas putih dengan bantuan pena itu adalah suatu penyelesaian
yang lebih baik daripada harus berbicara? Biarlah mungkin pesan hati yang belum
tersampaikan, bisa dibacakan di lembar putih itu
0 Komentar